Anugerah Guru Indonesia 2025 adalah penghargaan yang diberikan kepada guru, tenaga pendidik, serta tokoh masyarakat yang secara konsisten menunjukkan komitmen, inovasi, dedikasi, dan kontribusi transformatif dalam mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua. Para penerima penghargaan ini mengabdikan hidup mereka demi kemajuan pendidikan Indonesia.
Tahun 2025 menjadi momen penting dalam proses perkembangan pendidikan Indonesia.
Dalam tengah perubahan teknologi, kurikulum yang terus beradaptasi, serta tantangan sosial yang semakin kompleks, peran seorang guru tidak hanya sekadar mengajarkan materi. Guru kini juga berperan sebagai inovator, fasilitator,
Syifa Urrachmah, Koko Triantoro, dan Umi Salamah, adalah individu yang menerima penghargaan Anugerah Guru Indonesia 2025 dalam sebuah acara yang berlangsung di Indonesia Arena, Jakarta, pada hari Jumat, 28 November 2025.
Syifa Urrachmah: Menghidupkan Pembelajaran Melalui Teknologi dan Empati
Salah satu penerima penghargaan Guru Indonesia tahun 2025 adalah Syifa Urrachmah, seorang pengajar di SLB Negeri Banda Aceh, yang terletak di Provinsi Aceh. Melalui inisiatif Komputer Bicara (Kombira), Syifa menciptakan peluang pendidikan yang lebih luas untuk siswa tunanetra. Mereka yang sebelumnya merasa ragu dalam menggunakan gadget kini telah berhasil mengoperasikan komputer secara mandiri.
Syifa Urrachmah dikenal sebagai guru muda yang menjadi perintis dalam pembelajaran berbasis teknologi di lembaga pendidikannya. Dengan latar belakangnya sebagai pengajar untuk generasi digital, ia memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan pesat di dunia teknologi. Meski demikian, Syifa selalu mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat, dan pendekatan yang bersifat manusiawi tetap menjadi hal terpenting dalam proses belajar.
Pada tahun 2025, Syifa menciptakan metode pembelajaran Hybrid Humanistic Learning, di mana pengintegrasian alat digital dilakukan bersamaan dengan aktivitas-reflektif yang mendorong rasa empati, kerjasama, dan keterampilan komunikasi di kalangan siswa. Di dalam kelasnya, para siswa tidak hanya melakukan tugas melalui platform digital, tetapi juga secara teratur mendiskusikan pengalaman belajar mereka, tantangan yang dihadapi, serta perasaan mereka saat berinteraksi dengan materi pelajaran.
Salah satu inovasinya adalah program “Belajar dari Kisah”, suatu pendekatan yang menggabungkan materi pelajaran dengan cerita sehari-hari yang berkaitan. Program ini tidak hanya mempermudah pemahaman pelajaran, tetapi juga melatih kecerdasan emosional siswa. Banyak sekolah lainnya kemudian menerapkan program tersebut sebagai bagian dari peningkatan literasi emosional di ruang kelas.
Berdasarkan pendapat rekan-rekan pendidik, Syifa merupakan sosok yang sangat memperhatikan pertumbuhan siswa secara keseluruhan. Ia rutin melaksanakan sesi klinik, yaitu sesi konseling kecil bagi siswa yang menghadapi kesulitan dalam pembelajaran atau isu pribadi. Melalui pendekatan yang lembut dan perhatian, Syifa sukses dalam menciptakan suasana belajar yang aman dan mendukung—hal yang sangat krusial di zaman digital saat ini yang sering menimbulkan tekanan bagi para siswa.
Koko Triantoro: Pionir Pembelajaran Kontekstual dan Proyek Sosial
Dari daerah terpencil di Sumatera, Koko Triantoro, yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) Embacang Lama di Sumatra Selatan dan penerima penghargaan guru di daerah terisolasi, memperlihatkan bagaimana peran pendidik bisa melampaui batasan ruang kelas. Melakukan pengajaran dari Nusa Tenggara Timur hingga Kalimantan, Koko menyaksikan adanya kesenjangan sarana yang memotivasi dirinya untuk memulai berbagai kampanye dan kolaborasi, mulai dari pembangunan jembatan, perahu pendidikan, hingga program pengentasan buta huruf.
Berbeda dengan Syifa, kontribusi utama Koko Triantoro terletak pada kemampuannya menciptakan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual. Dengan basis yang kokoh dalam bidang pendidikan sains dan sosial, Koko meyakini bahwa siswa seharusnya belajar melalui pengalaman langsung. Prinsipnya adalah: ilmu pengetahuan tidak seharusnya terhenti di dalam ruang kelas.
Pada tahun 2025, Koko meluncurkan program “Sekolah Berbasis Proyek Sosial”, di mana setiap mata pelajaran dihubungkan dengan isu-isu nyata yang ada di sekitarnya. Sebagai contoh, pelajaran matematika berhubungan dengan pengukuran kebutuhan akses terhadap air bersih di desa; pelajaran bahasa Indonesia berkaitan dengan inisiatif pembuatan kampanye literasi lokal; dan pelajaran IPA dihubungkan dengan penelitian sederhana tentang kualitas udara.
Program ini tak hanya memperbaiki prestasi akademis siswa, tetapi juga mendorong rasa empati sosial serta kesadaran terhadap lingkungan. Banyak siswa mengungkapkan bahwa motivasi belajar mereka meningkat karena mereka dapat melihat hasil langsung dari kerja keras yang mereka lakukan.
Selain dikenal sebagai pembaharu dalam metode pembelajaran, Koko Triantoro juga terkenal sebagai pendidik yang mengedepankan kerja sama. Ia mendirikan komunitas “Guru Kolaboratif Nusantara”, tempat bagi para guru dari berbagai wilayah untuk bertukar pengalaman baik dalam praktik pengajaran. Melalui komunitas ini, sejumlah guru mendapatkan dukungan dalam menciptakan metode pembelajaran yang inovatif, terutama bagi mereka yang berada di daerah dengan sumber daya yang kurang memadai.
Umi Salamah: Sang Penggerak Pendidikan Karakter dan Inklusivitas
Sementara itu, di daerah Banyumas, Umi Salamah, yang memimpin PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Banyumas, adalah penerima penghargaan sebagai guru pejuang di bidang pendidikan nonformal dan inklusif. Selama tiga puluh tahun, ia telah menyediakan rumahnya sebagai tempat untuk pendidikan nonformal, mulai dari program pembelajaran bagi mereka yang buta huruf hingga pendidikan perguruan tinggi. Umi mendirikan berbagai program seperti PKBM, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), kelas paket, SLB (Sekolah Luar Biasa), serta memulai Pondok Pesantren ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) demi memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus di daerah yang sebelumnya tidak memiliki fasilitas SLB.
Jika Syifa membawa inovasi teknologi dan rasa empati, dan Koko menghadirkan cara belajar yang relevan, maka Umi Salamah berperan sebagai kekuatan utama dalam pendidikan yang menekankan karakter dan inklusivitas. Dengan pengalaman yang luas selama bertahun-tahun, Umi sangat memahami berbagai kebutuhan siswa di Indonesia. Ia meyakini bahwa setiap anak, terlepas dari latar belakang mereka, berhak atas kesempatan belajar yang setara.
Pada tahun 2025, Umi menjadi perintis dalam program “Sekolah Inklusif Berbasis Nilai”, yang menggabungkan pendidikan karakter dengan layanan pendidikan untuk pelajar berkebutuhan khusus. Di lembaganya, setiap individu didorong untuk mengenali dan menghargai perbedaan, serta beradaptasi untuk bekerja sama dengan rekan-rekan yang memiliki berbagai kemampuan.
Pengembangan karakter yang dilakukan Umi bukan hanya sekadar menghafal nilai-nilai moral, melainkan penerapan nyata yang dilakukan setiap hari. Misalnya, program “Gerak Kebaikan Harian” mengajak para siswa untuk melakukan satu tindakan positif setiap hari, seperti menolong teman, menyapa guru, menjaga kebersihan kelas, atau menulis catatan penghargaan untuk orang lain.
Salah satu sumbangsih terbesar Umi adalah keberhasilannya dalam melatih pengajar lain agar memiliki pandangan inklusif. Ia sering mengadakan lokakarya yang mengupas cara menghadapi siswa dengan kebutuhan belajar yang beragam, strategi diferensiasi pengajaran, dan pendekatan komunikasi efektif untuk menciptakan suasana kelas yang ramah bagi semua.
Bagi Umi, prinsip inklusivitas bukan sekadar soal penerimaan, namun juga tentang memfasilitasi setiap siswa untuk tumbuh sesuai dengan potensi mereka. Filosofi inilah yang membuatnya dihormati dan dijadikan teladan oleh banyak guru baru.






Tidak ada komentar:
Posting Komentar